Jumat, 23 Desember 2011

NILAI PARTISIPATORIS MERENTANG DARI LOKAL MENUJU INTERNASIONAL PADA PENGEMBANGAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)


Oleh:
Tantri Mega Sanjaya
11709251007
Mahasiswa S2 Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta

Abstak
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan program rintisan pemerintah yang diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi berkualitas yang mampu menjawab tantangan  zaman yang semakin global. Program pendidikan melalui Sekolah Bertaraf Internasional yang menuntut interaksi dan komunikasi secara luas dalam lingkup internasional, sangat rentan terhadap penggerhanaan nilai-nilai lokal. Oleh karena itu pengembangan kualitas pendidikan yang berusaha diwujudkan  melalui Sekolah Bertaraf Internasional haruslah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh sila-sila pancasila. Pendidikan yang berbasiskan masyarakat adalah sesuai dengan misi pembangunan. Partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menyebabkan  pendidikan tersebut mampu berakar dalam kebudayaan di masyarakat yang kemudian akan mampu mengantarkan Indonesia untuk bersaing di kancah persaingan internasional sebagai  bangsa yang berbudaya dan berkarakter kuat.

Kata kunci: SBI, nilai-nilai lokal, partisipasi masyarakat

A.  PENDAHULUAN
 Globalisasi telah menimbulkan terjadinya perubahan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat dunia, karena karakteristiknya yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Globalisasi merupakan proses transparansi dan menjadikan ruang dan waktu semakin sempit, sehingga menjadikan dunia sebagai satu keseluruhan, bahkan sebagai rangkaian manifestasi kehidupan baru. Kehidupan global yang mengarah kepada percepatan proses modernisasi telah membawa dampak besar terhadap corak kehidupan dalam berbagai aspek dan dimensi. Dalam dinamika kehidupan global tersebut telah terjadi pergeseran nilai-nilai. Pergeseran nilai-nilai lokal dan karakter bangsa sebagai akibat dinamika kehidupan global tersebut, telah membuat pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila terutama pemahaman wawasan kebangsaan oleh sebagian komponen bangsa menjadi luntur dan longgar.
Berawal dari fenomena di atas, maka diperlukan sebuah pemikiran atau gagasan yang diharapkan mampu menjawab tuntutan perkembangan zaman sehingga mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara lainnya dalam pergaulan masyarakat internasional dengan tetap mengedepankan nilai-nilai lokal yang tercermin dalam pancasila.
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan program pemerintah yang diharapkan mampu menjadi garda terdepan untuk mempersiapkan bangsa menjawab tantangan zaman untuk mampu mensejajarkan langkah dalam percaturan internasional. Sekolah Bertaraf Internasional memiliki visi untuk mewujudkan insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan sangatlah penting mempertahankan kepribadian bangsa sebagai bangsa berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan  lokal. Tentu saja hal ini tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, semua pihak dari keluarga, masyarakat, pihak pendidikan maupun pemerintah harus bersinergi dalam mewujudkannya.
 Masyarakat sebagai pembentuk kebudayaan tentunya memiliki peran penting dalam proses penanaman nilai-nilai lokal. Lalu bagaimana partisipasi masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai lokal kaitannya dalam pendidikan yang sedang dirintis oleh pemerintah? Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana hubungan partisipasi masyarakat sebagai upaya menanamkan nilai-nilai lokal dalam membangun pendidikan bervisi global.

B. PEMBAHASAN
Globalisasi merupakan era persaingan dalam segala bidang dan aspek kehidupan. Sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi dan berkarakter kuat pastilah sangat dibutuhkan agar mampu menghadapi dan memenangkan persaingan. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatan mutu pendidikan. Fokus utama yang harus perhatikan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama pendidikan, baik dari segi manajemen, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Salah satu program yang diusung  pemerintah agar  perubahan dan perkembangan tersebut dapat direspon dengan cepat yaitu dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan sekolah dengan mengembangkan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Hal ini didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Sekolah Berstandar Internasional merupakan sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan rumusan SNP + X (OECD). Sebagaimana dalam Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007, yang menyatakan bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). OECD merupakan sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang memiliki standar yang telah diakui secara internasional. Anggota OECD antara lain yaitu: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States serta negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong (Kir Haryana, 2007: 41).
Sebagai upaya membangun mimpi yang didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional  yang proyek rintisannya  menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan juta rupiah. Proyek tersebut dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota 20%.  Selain itu untuk setiap sekolah, Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama tiga tahun dalam masa rintisan tersebut. (Satria Dharma, 2008).
Menurut Kir Haraya (2007: 37), penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik secara optimal melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Sedangkan filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus memiliki fungsi dan relevan dengan kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional.  Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.
Hal ini sejalan dengan  GBHN tahun 1993 yang menjelaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan sektor pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang berimana dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif dan sehat jasmani-rohani. (Made Pidarta, 2000: 11).
Namun pada kenyataannya konsep Sekolah Bertaraf Internasional cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof. Djohar  (2006: 211) menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
            Selain itu menurut M. Fajri Siregar, sarjana sosiologi Univeristas Indonesia yang meneliti sejumlah Sekolah Bertaraf Internasional di Jakarta Selatan, mengungkapkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar siswa Sekolah Bertaraf Internasional memiliki aspek kognitif keindonesian sangat rendah. Sekolah tidak mendorong tumbuhnya identitas sebagai orang Indonesia.
Gelombang globalisasai akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi komunikasai mengancam terjadinya bahaya penggerhanaan identitas kebangsaan termasuk didalamnya hilangnya kebudayaan nasional dan lokal . Bahaya budaya dunia yang cenderung pada kedangkalan seperti kebudayaan yang dilahirkan oleh teknologi komunikasi dapat menyebabkan pendangkalan budaya dan kehilangan identitas. Oleh karena itu kini diseluruh dunia timbul usaha menghidupkan kebudayaan lokal karena disitulah makhluk manusia itu hidup dan bertindak serta berkelakuan sehari-hari. Kita bisa berfikir dan bervisi global tetapi kita bertindak secara lokal, demikian nasihat John Naisbitt (H.A.R. Tilaar, 2004: 190)
Penggerhanaan identitas akan sangat rentan muncul ketika pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan tidak mampu menanamkan dan mengembangkan karakter unggul sebagai nilai kearifan lokal yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Semestinya  penanaman nilai-nilai kearifan lokal mampu mengantisipasi kebudayaan luar yang masuk seiring dengan pengadopsian pandangan dan sistem pendidikan yang sedang dicoba untuk diterapkan. Oleh karena itu penanaman nilai kearifan lokal melalui budaya sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam ataupun di luar sekolah.
Negara indonesia tidak sama seperti Amerika Serikat, Indonesia mempunyai cita-cita pasti dalam pendidikan yang harus dikejar. Dalam pengembangan kualitas pendidikan yang berusaha diwujudkan  melalui Sekolah Bertaraf Internasional haruslah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh sila-sila pancasila. Untuk mencapai hal ini perlu ada alat yang pasti. Alat akan efektif bila dijabarkan dan berkaitan erat dengan badan ilmu pendidikan yang utuh yang mencerminkan dunia Indonesia dengan iklim, geografis, dan budayanya yang khas. Dengan kata lain pendidikan Indonesia perlu diwujudkan dalam bentuk ilmu pendidikan seperti halnya dengan model pendidikan di Eropa . Hanya saja ilmu pendidikan di Indonesia harus menunjukkan ciri khas negara Indonesia termasuk pancasilanya. Ini berarti ilmu pendidikan harus digali dari bumi Indonesia sendiri (Made Pidarta, 2000: 96).
Menurut Suparlan (2008) Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat.
 Dilihat dari segi teoritis maupun falsafah pendidikan, pendidikan adalah milik masyarakat. Masyarakat melahirkan lembaga-lembaga pendidikan untuk kelangsungan hidup suatu masyarakat dan  isi pendidikan tersebut adalah nilai-nilai yang telah hidup dan dikembangkan di dalam kebudayaan. Pendidikan yang berbasiskan masyarakat adalah sesuai dengan misi pembangunan kita dewasa ini. Dengan ikut sertanya masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka pendidikan tersebut mampu berakar dalam kebudayaan di masyarakat. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat indonesia baru dapat memenuhi fungsinya.
Hal ini dikuatkan UU No 2 tahun 1989, pasal 1, mengemukakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa dan berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945. Demikian pula dijelaskan dalam PP No.29 tahun 1990 pasal 10 mengenai wawasan wiyatamandala dengan tegas dinyatakan bahwa pendidikan haruslah berdasarkan kepada kebudayaan.
Antropolog terkenal Ralph Linton (H.A.R. Tilaar, 2004: 190-191), mengupas latar belakang kebudayaan dari terbentuknya kepribadian manusia. Tanpa kebudayaan tidak mungkin lahir suatu kepribadian. Oleh sebab itu proses pendidikan tidak lain adalah proses pembudayaan. Dari nilai-nilai kebudayaan yang terwujud dalam kehidupan keluarga masyarakat lokal, masyarakat nasional sampai kepada masyarakat dunia semua terwujud di dalam nilai-nilai yang hidup di dalam lingkungan kemanusiaan yang semakin luas. Pendidikan bukan semata-mata mentransformasikan nilai-nilai universal tetapi juga nilai partikular atau nilai yang khusus, yang hidup dalam suatu masyarakat. Dengan nilai khusus tersebut seseorang akan menggapai nilai nilai kemanusiaan. Pengalaman pengalaman pendidikan didalam masyarakat multi etnis menunjukkan bahwa pendidikan akan berhasil apabila bertitik tolak dari nilai budaya asal yang secara bertahap memasuki nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang lebih luas.
Broom menyebut fungsi pendidikan sebagai; (1) transmisi budaya (2) meningkatkan integrasi sosial atau masyarakat (3) mengadakan seleksi dan alokasi tenaga kerja melalui pendidika itu sendiri, (4) mengembangkan kepribadian. Sedangkan Wuradji mengemukakan tentang sekolah sebagai kontrol sosial dan perubah sosial. Sebagai kontrol antara lain degan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan jelek anak-anak di rumah dan di masyarakat.  Serta sebagai perubah sosial antara lain dengan menyeleksi nilai-nilai, menghasilkan warga negara yang baik dan menciptakan ilmu dan teknologi baru (Made Pidarta, 2000: 171).
Sekolah tidak dibenarkan menjadi seperti menara air, yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas apa-apa. Tidak juga seperti menara gading yang mengisolasi diri terhadap masyarakat disekitarnya, melainkan ibarat menara penerang yaitu berada dimasyarakat yang sekaligus memberi penerangan. Lembaga harus tetap berakar pada masyaraat setempat, memperhatikan ide-idenya, melaksanakan aspirasi, memanfaatkan fasilitas dan menyesuikan diri dengan kebiasaan hidup masyarakat setempat. Sementara itu sekolah berusaha meningkatkan cara hidup dan kehidupan masyarakat  dengan  menciptakan bibit unggul, menciptakan teknologi baru dan sebagainya. Hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat  diibaratkan sebagai selembar kain batik. Motif-motif dan pola gambar yang terdapat pada kain adalah lembaga pendidikan, sedangkan kain latarnya adalah masyarakat. Motif dan pola memberikan corak keindahan sehingga menjadikan sebuah kain menjadi lebih berkualitas bernilai jual tinggi.  Begitupula pula halnya dengan lembaga pendidikan yang merupakan bunga bagi masyarakat sekitarnya.
 Pada akhirnya efektivitas yang mengandung kemaslahatan hasil pendidikan dalam kancah nasional ataupun internasional tidak terlepas dari pengaruh individu, keluarga yang membentuk suatu komunitas masyarakat  yang melingkupi lingkungan dan atmosfer lembaga pendidikan, hal ini sesuai dengan pendapat seorang sarjana Konfusius (I.N. Thut dan Don Adams, 2005: 387) dengan pernyataan berikut:
“Pencapaian pengetahuan sejati bergantung pada penyelidikan atas segala sesuatu.  Ketika segala sesuatu diteliti, maka tercapailah pengetahuan yang sejati; ketika pengetahuan sejati tercapai, maka munculah kehendak; ketika kehendak telah muncul, maka timbul ketetapan hati (atau pikiran menjadi mantap); ketika hati sudah tetap, maka kehidupan pribadipun mulai ditata; ketika kehidupan pribadi mulai tertata, maka kehidupan keluargapun mulai diatur; ketika kehidupan keluarga sudah teratur, kehidupan nasional juga ditertibkan; ketika kehidupan nasional sudah tertib, maka saat itulah tercapai perdamaian di dunia itu” .

B.   KESIMPULAN
Kebijakan pemerintah terkait Sekolah Bertaraf Internasional merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan. Namun dalam perjalanannya, kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional belum mampu sepenuhnya  menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya mempertahankan nilai lokal dan kebudayaan luhur dalam pendidikan sangat  rentan pengaruh budaya luar.
Masyarakat sebagai pembentuk kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas suatu pendidikan baik  dari segi nilai-nilai kebaikan sosial maupun segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan adanya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan Indonesia  yang dikemas dalam Sekolah Bertaraf  Internasional  akan mampu mengantarkan Indonesia untuk bersaing di kancah persaingan internasional tanpa harus menanggalkan identitas bangsa, bahkan sebaliknya menjadi bangsa yang mampu bersaing di dunia global  sebagai  pribadi bangsa yang berbudaya dan berkarakter kuat.


SUMBER:
Deri. 2009. Sekolah Berstandar Internasional Reduksi Identitas Indonesia. Akses tanggal 20 Desember 2011.  http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=1533

Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan.Yogyakarta: CV. Grafika Indah

Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Made Pidarta. 2000. Landasan kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

N. Thut.I & Don Adams. 2005. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka pelajar. (Diterjemahkan dari Educational Patterns in Contemporary Socienties. McGraw-Hill Book Company, New york, 1984).


Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Dari Konsepsi Sampai dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.

Suparlan. 2008. Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International.  Akses tanggal 20 Desember 2011. http://banjarcyberschool.blogspot.com/2008/09/perangi-kebodohan-dan-kemiskinan-dengan_20.html.


Tilaar. H.A.R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar