Minggu, 23 September 2012

KITA DIANTARA REMBULAN MERAH # 1




Ketika ku katakan, betapa menawannya rembulan malam ini. Ku lihat kau membisu bersama lamunanmu. Adakah kau pikirkan rembulan lain yang lebih menawan hatimu?

Sosok humoris yang melankolis dengan garis senyum yang selalu terlukis diwajahmu kini tampak tenang tidur di sofa ruang tengah, terdengar hembusan nafasmu yang lembut. Rambutmu yang lurus tergerai menutup kening yang sedikit lagi mengenai bagian kelopak matamu. Sepertinya sudah waktunya ku pangkas sedikit rambut yang menjuntai itu agar tak mengganggu tidurmu lagi. Dagumu yang panjang tak henti turut menyimpan garis tawa. Ah...kau memang lelaki yang sangat manis, setidaknya dalam pandanganku.

Lelaki yang sudah tiga bulan ini menemani hari-hariku, lelaki yang kusadari tidak semestinya digandrungi karena faktor ketampanan, selalu dipenuhi kuasa untuk membuatku selalu menunggu jika tak bersama. Meski kini aku berada di dekatmu, meski aku bisa menatap wajahmu sepuas hatiku namun aku masih tetap sangat merindukanmu, karenanya ingin selalu kusimpan wajahmu dipelupuk mataku. Hingga tanpa sadar buliran bening mengalir dari kedua ceruk mataku, ingin ku peluk tubuhmu yang terlihat menyimpan letih.

Suamiku...baik-baikkah dirimu?

#Ba’da Isya...#
Seperti biasanya, kau sempatkan waktu untuk menatap langit malam. Kau berdiri sembari menyenderkan sisi kiri lenganmu di tiang teras rumah kita dengan posisi tangan melipat di depan dada. Barangkali moment seperti ini yang memberi inspirasi disetiap bait puisimu yang tak pernah membuatku bosan membacanya. Bahkan beberapa sudah melekat diingatanku meski tak sengaja untuk ku hapalkan.
Pernah sekali kau bercerita, betapa kau sangat menyukai langit meskipun malam, meskipun tak ada bintang dan rembulan, meskipun hanya gelap dan hitam. Ketika kutanya,

“mengapa Abi begitu menyukai malam, bukankah jika
mendung seperti ini hanya tampak suram?”

Kau tampak tersenyum, matamu menyiratkan sebuah bayangan yang seolah-olah terhampar memenuhi seluruh sudut pandangmu

“Bukankah suram itu hanya ada dalam pikiran, semua akan indah jika kita memandangnya dengan keindahan”

Meski tak menjawab pertanyaanku, rasanya aku tak perlu banyak bertanya lagi. Terkadang untuk menyukai sesuatu tidak memerlukan alasan, begitupula kau yang menyukai malam barangkali tidak memerlukan alasan dan akupun tidak memerlukan banyak alasan untuk menerima pinanganmu dulu. Aku hanya cukup mengenal agamamu dan aku menyukaimu, itu saja. Ah...pikiranku yang sederhana.

“Bun...sekarang sudah tanggal 13 ya?”

Kualihkan pandanganku kewajahmu.  Kau tetap menatap rembulan merah nan anggun merajai langit malam ini. Suaramu begitu pelan, bahkan seperti hendak tertelan lembutnya semilir malam dan hampir-hampir  aku tak bisa mendengarnya. Sahut-sahutan suara khas binatang kecil jangkrik tak mampu biaskan bahwa ada sesuatu yang kau simpan.

“Iya, jelang puasa Romadhon 10 hari lagi lho Bi?”

Ku raih jarimu, terasa dingin. Ku ajak dan ku bimbing duduk di kursi panjang yang berada di teras rumah kami. Rumah yang sama sekali belum direnovasi sejak kami tinggali setelah tiga hari pernikahan kami. Hanya warna catnya saja yang awalnya putih kusam kami ubah menjadi krem lembut pilihan warna hasil mufakat kita berdua. Di selatan pintu sengaja kita taruh kursi panjang ini dan sebuah meja kecil disampingnya. Kursi dimana sering kita habiskan waktu berdua berbagi cerita untuk menutup hari. Bercerita semua yang telah masing-masing kita lakukan hari ini, bercerita mengenai apa yang kita lakukan untuk mengalihkan rindu, dan berbagi harapan serta kepercayaan untuk membangun kehidupan mendatang.

“Cepat sekali...”

Tampak senyum simpulmu mengulas. Namun ada yang berbeda, aku merasakan ada kesedihan. Apakah kau menyimpan luka dibalik senyummu?

Seperti biasa, kau kemudian rebahkan badanmu dengan kepala dipangkuanku.

“Bi kamu sakit ya?”

Kupegang keningmu, tak terasa panas. Tiba-tiba tangan kirimu meraih jemariku dan kau dekapkan di dadamu.

“Biarkan aku tidur, sebentar saja...”

Kau pejamkan matamu, dan aku hanya diam melihat sikapmu yang semakin tidak biasa saja. Aku tak tahu mengapa aku tidak bisa bertanya lebih banyak kepadamu tentang apa yang terjadi. Mulut ini terasa terkunci. Sungguh aku sangat peduli dan terlalu menjaga agar tidak memberatkanmu dan memaksa menceritakan semuanya. Ah apakah ini bijaksana? Akupun masih meragukannya.


to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar