Oleh:
Tantri
Mega Sanjaya
11709251007
Mahasiswa
S2 Program Pascasarjana
Universitas
Negeri Yogyakarta
Abstak
Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) merupakan program rintisan pemerintah yang
diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi berkualitas yang mampu menjawab
tantangan zaman yang semakin global. Program
pendidikan melalui Sekolah Bertaraf Internasional yang menuntut interaksi dan
komunikasi secara luas dalam lingkup internasional, sangat rentan terhadap
penggerhanaan nilai-nilai lokal. Oleh karena itu pengembangan kualitas
pendidikan yang berusaha diwujudkan
melalui Sekolah Bertaraf Internasional haruslah mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh sila-sila pancasila. Pendidikan yang
berbasiskan masyarakat adalah sesuai dengan misi pembangunan. Partisipasi
masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menyebabkan pendidikan tersebut mampu berakar dalam
kebudayaan di masyarakat yang
kemudian akan mampu mengantarkan
Indonesia untuk bersaing di kancah persaingan internasional sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter kuat.
Kata
kunci: SBI, nilai-nilai lokal, partisipasi masyarakat
A. PENDAHULUAN
Globalisasi telah menimbulkan terjadinya
perubahan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat dunia, karena
karakteristiknya yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Globalisasi
merupakan proses transparansi dan menjadikan ruang dan waktu semakin sempit,
sehingga menjadikan dunia sebagai satu keseluruhan, bahkan sebagai rangkaian
manifestasi kehidupan baru. Kehidupan global yang mengarah kepada percepatan
proses modernisasi telah membawa dampak besar terhadap corak kehidupan dalam
berbagai aspek dan dimensi. Dalam dinamika kehidupan global tersebut telah
terjadi pergeseran nilai-nilai. Pergeseran nilai-nilai lokal dan karakter
bangsa sebagai akibat dinamika kehidupan global tersebut, telah membuat
pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila terutama pemahaman wawasan kebangsaan
oleh sebagian komponen bangsa menjadi luntur dan longgar.
Berawal
dari fenomena di atas, maka diperlukan sebuah pemikiran atau gagasan yang
diharapkan mampu menjawab tuntutan perkembangan zaman sehingga
mampu menyejajarkan diri dengan negara-negara lainnya dalam pergaulan
masyarakat internasional dengan
tetap mengedepankan nilai-nilai lokal yang tercermin dalam pancasila.
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
merupakan program pemerintah yang diharapkan mampu menjadi garda terdepan untuk
mempersiapkan bangsa menjawab tantangan zaman untuk mampu mensejajarkan langkah
dalam percaturan internasional. Sekolah Bertaraf Internasional memiliki visi
untuk mewujudkan insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara
global. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan sangatlah penting
mempertahankan kepribadian bangsa sebagai bangsa berbudaya dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kearifan lokal. Tentu saja
hal ini tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, semua pihak dari keluarga,
masyarakat, pihak pendidikan maupun pemerintah harus bersinergi dalam
mewujudkannya.
Masyarakat sebagai pembentuk kebudayaan
tentunya memiliki peran penting dalam proses penanaman nilai-nilai lokal. Lalu bagaimana
partisipasi masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai lokal kaitannya dalam
pendidikan yang sedang dirintis oleh pemerintah? Dalam makalah ini akan
dijelaskan bagaimana hubungan partisipasi masyarakat sebagai upaya menanamkan
nilai-nilai lokal dalam membangun pendidikan bervisi global.
B. PEMBAHASAN
Globalisasi merupakan
era persaingan dalam segala bidang dan aspek kehidupan. Sumber daya manusia
yang memiliki kemampuan tinggi dan berkarakter kuat pastilah sangat dibutuhkan
agar mampu menghadapi dan memenangkan persaingan. Upaya yang harus dilakukan
dalam rangka memperbaiki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatan
mutu pendidikan. Fokus utama yang harus perhatikan dalam peningkatan mutu
pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama pendidikan,
baik dari segi manajemen, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Salah
satu program yang diusung pemerintah
agar perubahan dan perkembangan tersebut
dapat direspon dengan cepat yaitu dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan
sekolah dengan mengembangkan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Hal ini
didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang
berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Sekolah
Berstandar Internasional merupakan sekolah nasional yang menyiapkan peserta
didiknya berdasarkan rumusan
SNP + X (OECD). Sebagaimana dalam Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007,
yang menyatakan bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah
memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu
pada standar pendidikan salah satu Negara anggota OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development). OECD merupakan sebuah
organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan.
Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan yang memiliki standar yang telah diakui secara internasional. Anggota
OECD antara lain yaitu: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic,
Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy,
Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland,
Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom,
United States serta negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Russia,
Slovenia, Singapore, dan Hongkong (Kir Haryana, 2007: 41).
Sebagai
upaya membangun mimpi yang didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pasal 50 ayat (3) maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah
Bertaraf Internasional yang proyek
rintisannya menyertakan ratusan SMP dan
SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan
dana ratusan juta rupiah. Proyek tersebut dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%,
Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota 20%. Selain itu untuk setiap sekolah, Pemerintah
Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama tiga tahun
dalam masa rintisan tersebut. (Satria Dharma, 2008).
Menurut
Kir Haraya (2007: 37), penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme
dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan
bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik
secara optimal melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan
yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif,
menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.
Sedangkan filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus
memiliki fungsi dan relevan dengan kebutuhan individu, keluarga, maupun
kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun
internasional. Dalam mengaktualkan kedua
filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning
to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan
berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan
prasarana, hingga sampai penilainya.
Hal
ini sejalan dengan GBHN tahun 1993 yang
menjelaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan sektor pendidikan ditujukan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang berimana dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, produktif dan sehat jasmani-rohani. (Made
Pidarta, 2000: 11).
Namun
pada kenyataannya konsep Sekolah Bertaraf Internasional cenderung lebih
menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika
penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional lebih mementingkan alat/media
pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction,
berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.
Prof. Djohar (2006: 211) menyatakan bahwa tuntutan
pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan
kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita
arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa untuk
hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan
dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
Selain itu menurut M. Fajri Siregar,
sarjana sosiologi Univeristas Indonesia yang meneliti sejumlah Sekolah Bertaraf
Internasional di Jakarta Selatan, mengungkapkan hasil penelitian menunjukkan
sebagian besar siswa Sekolah Bertaraf Internasional memiliki aspek kognitif
keindonesian sangat rendah. Sekolah tidak mendorong tumbuhnya identitas sebagai
orang Indonesia.
Gelombang
globalisasai akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi komunikasai
mengancam terjadinya bahaya penggerhanaan identitas kebangsaan termasuk didalamnya
hilangnya kebudayaan nasional dan lokal . Bahaya budaya dunia yang cenderung
pada kedangkalan seperti kebudayaan yang dilahirkan oleh teknologi komunikasi
dapat menyebabkan pendangkalan budaya dan kehilangan identitas. Oleh karena itu
kini diseluruh dunia timbul usaha menghidupkan kebudayaan lokal karena
disitulah makhluk manusia itu hidup dan bertindak serta berkelakuan
sehari-hari. Kita bisa berfikir dan bervisi global tetapi kita bertindak secara
lokal, demikian nasihat John Naisbitt (H.A.R. Tilaar, 2004: 190)
Penggerhanaan
identitas akan sangat rentan muncul ketika pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan
tidak mampu menanamkan dan mengembangkan karakter unggul sebagai nilai kearifan
lokal yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Semestinya penanaman nilai-nilai kearifan lokal mampu
mengantisipasi kebudayaan luar yang masuk seiring dengan pengadopsian pandangan
dan sistem pendidikan yang sedang dicoba untuk diterapkan. Oleh karena itu penanaman
nilai kearifan lokal melalui budaya sekolah dapat berpengaruh terhadap semua
aspek kehidupan di dalam ataupun di luar sekolah.
Negara indonesia tidak sama seperti
Amerika Serikat, Indonesia mempunyai cita-cita pasti dalam pendidikan yang
harus dikejar. Dalam pengembangan kualitas pendidikan yang berusaha
diwujudkan melalui Sekolah Bertaraf
Internasional haruslah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh
sila-sila pancasila. Untuk mencapai hal ini perlu ada alat yang pasti. Alat
akan efektif bila dijabarkan dan berkaitan erat dengan badan ilmu pendidikan
yang utuh yang mencerminkan dunia Indonesia dengan iklim, geografis, dan
budayanya yang khas. Dengan kata lain pendidikan Indonesia perlu diwujudkan
dalam bentuk ilmu pendidikan seperti halnya dengan model pendidikan di Eropa .
Hanya saja ilmu pendidikan di Indonesia harus menunjukkan ciri khas negara
Indonesia termasuk pancasilanya. Ini berarti ilmu pendidikan harus digali dari
bumi Indonesia sendiri (Made Pidarta, 2000: 96).
Menurut
Suparlan (2008) Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun,
diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat.
Dilihat
dari segi teoritis maupun falsafah pendidikan, pendidikan adalah milik
masyarakat. Masyarakat melahirkan lembaga-lembaga pendidikan untuk kelangsungan
hidup suatu masyarakat dan isi pendidikan
tersebut adalah nilai-nilai yang telah hidup dan dikembangkan di dalam
kebudayaan. Pendidikan yang berbasiskan masyarakat adalah sesuai dengan misi
pembangunan kita dewasa ini. Dengan ikut sertanya masyarakat di dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka pendidikan tersebut mampu
berakar dalam kebudayaan di masyarakat. Dengan demikian lembaga-lembaga
pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat indonesia
baru dapat memenuhi fungsinya.
Hal
ini dikuatkan UU No 2 tahun 1989, pasal 1, mengemukakan bahwa pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa dan berdasarkan
pada pancasila dan UUD 1945. Demikian pula dijelaskan dalam PP No.29 tahun 1990
pasal 10 mengenai wawasan wiyatamandala dengan tegas dinyatakan bahwa
pendidikan haruslah berdasarkan kepada kebudayaan.
Antropolog
terkenal Ralph Linton (H.A.R. Tilaar, 2004: 190-191), mengupas latar belakang
kebudayaan dari terbentuknya kepribadian manusia. Tanpa kebudayaan tidak
mungkin lahir suatu kepribadian. Oleh sebab itu proses pendidikan tidak lain
adalah proses pembudayaan. Dari nilai-nilai kebudayaan yang terwujud dalam
kehidupan keluarga masyarakat lokal, masyarakat nasional sampai kepada
masyarakat dunia semua terwujud di dalam nilai-nilai yang hidup di dalam
lingkungan kemanusiaan yang semakin luas. Pendidikan bukan semata-mata
mentransformasikan nilai-nilai universal tetapi juga nilai partikular atau
nilai yang khusus, yang hidup dalam suatu masyarakat. Dengan nilai khusus
tersebut seseorang akan menggapai nilai nilai kemanusiaan. Pengalaman
pengalaman pendidikan didalam masyarakat multi etnis menunjukkan bahwa
pendidikan akan berhasil apabila bertitik tolak dari nilai budaya asal yang
secara bertahap memasuki nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang lebih
luas.
Broom
menyebut fungsi pendidikan sebagai; (1) transmisi budaya (2) meningkatkan
integrasi sosial atau masyarakat (3) mengadakan seleksi dan alokasi tenaga
kerja melalui pendidika itu sendiri, (4) mengembangkan kepribadian. Sedangkan
Wuradji mengemukakan tentang sekolah sebagai kontrol sosial dan perubah sosial.
Sebagai kontrol antara lain degan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan jelek
anak-anak di rumah dan di masyarakat.
Serta sebagai perubah sosial antara lain dengan menyeleksi nilai-nilai,
menghasilkan warga negara yang baik dan menciptakan ilmu dan teknologi baru
(Made Pidarta, 2000: 171).
Sekolah
tidak dibenarkan menjadi seperti menara air, yaitu melebur menjadi satu dengan
masyarakat tanpa memberikan identitas apa-apa. Tidak juga seperti menara gading
yang mengisolasi diri terhadap masyarakat disekitarnya, melainkan ibarat menara
penerang yaitu berada dimasyarakat yang sekaligus memberi penerangan. Lembaga
harus tetap berakar pada masyaraat setempat, memperhatikan ide-idenya,
melaksanakan aspirasi, memanfaatkan fasilitas dan menyesuikan diri dengan
kebiasaan hidup masyarakat setempat. Sementara itu sekolah berusaha
meningkatkan cara hidup dan kehidupan masyarakat dengan
menciptakan bibit unggul, menciptakan teknologi baru dan sebagainya. Hubungan
lembaga pendidikan dengan masyarakat diibaratkan sebagai selembar kain batik.
Motif-motif dan pola gambar yang terdapat pada kain adalah lembaga pendidikan,
sedangkan kain latarnya adalah masyarakat. Motif dan pola memberikan corak
keindahan sehingga menjadikan sebuah kain menjadi lebih berkualitas bernilai
jual tinggi. Begitupula pula halnya
dengan lembaga pendidikan yang merupakan bunga bagi masyarakat sekitarnya.
Pada akhirnya efektivitas yang mengandung
kemaslahatan hasil pendidikan dalam kancah nasional ataupun internasional tidak
terlepas dari pengaruh individu, keluarga yang membentuk suatu komunitas
masyarakat yang melingkupi lingkungan dan
atmosfer lembaga pendidikan, hal ini sesuai dengan pendapat seorang sarjana
Konfusius (I.N. Thut dan Don Adams, 2005: 387) dengan pernyataan berikut:
“Pencapaian
pengetahuan sejati bergantung pada penyelidikan atas segala sesuatu. Ketika segala sesuatu diteliti, maka
tercapailah pengetahuan yang sejati; ketika pengetahuan sejati tercapai, maka
munculah kehendak; ketika kehendak telah muncul, maka timbul ketetapan hati
(atau pikiran menjadi mantap); ketika hati sudah tetap, maka kehidupan
pribadipun mulai ditata; ketika kehidupan pribadi mulai tertata, maka kehidupan
keluargapun mulai diatur; ketika kehidupan keluarga sudah teratur, kehidupan
nasional juga ditertibkan; ketika kehidupan nasional sudah tertib, maka saat
itulah tercapai perdamaian di dunia itu” .
B. KESIMPULAN
Kebijakan
pemerintah terkait Sekolah Bertaraf Internasional merupakan upaya pemerintah
untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing
dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar
internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar
Nasional Pendidikan. Namun dalam perjalanannya, kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional
belum mampu sepenuhnya menanamkan
nilai-nilai kebangsaan. Upaya mempertahankan nilai lokal dan kebudayaan luhur
dalam pendidikan sangat rentan pengaruh
budaya luar.
Masyarakat
sebagai pembentuk kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
peningkatan kualitas suatu pendidikan baik
dari segi nilai-nilai kebaikan sosial maupun segi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sehingga dengan adanya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan
Indonesia yang dikemas dalam Sekolah Bertaraf
Internasional akan mampu mengantarkan Indonesia untuk
bersaing di kancah persaingan internasional tanpa harus menanggalkan identitas
bangsa, bahkan sebaliknya menjadi bangsa yang mampu bersaing di dunia
global sebagai pribadi bangsa yang berbudaya dan berkarakter
kuat.
SUMBER:
Deri. 2009. Sekolah Berstandar
Internasional Reduksi Identitas Indonesia. Akses tanggal 20 Desember 2011. http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=1533
Djohar.
2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan.Yogyakarta:
CV. Grafika Indah
Kir Haryana.
2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Made
Pidarta. 2000. Landasan kependidikan:
Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
N. Thut.I
& Don Adams. 2005. Pola-pola
Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
(Diterjemahkan dari Educational Patterns in Contemporary Socienties.
McGraw-Hill Book Company, New york, 1984).
Satria Dharma. 2008. Akses tanggal
20 desember 2011. http://banjarcyberschool.blogspot.com/2008/09/yayasan-kasih-sayang-yks-affectionate.html
Suparlan.
2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa:
Dari Konsepsi Sampai dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
Suparlan. 2008. Pengelolaan
Pendidikan Sekolah Berstandar International.
Akses tanggal 20 Desember 2011. http://banjarcyberschool.blogspot.com/2008/09/perangi-kebodohan-dan-kemiskinan-dengan_20.html.
Tilaar.
H.A.R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar