Ketika
ku katakan, betapa menawannya rembulan malam ini. Ku lihat kau membisu bersama
lamunanmu. Adakah kau pikirkan rembulan lain yang lebih menawan hatimu?
Sosok
humoris yang melankolis dengan garis senyum yang selalu terlukis diwajahmu kini
tampak tenang tidur di sofa ruang tengah, terdengar hembusan nafasmu yang lembut.
Rambutmu yang lurus tergerai menutup kening yang sedikit lagi mengenai bagian
kelopak matamu. Sepertinya sudah waktunya ku pangkas sedikit rambut yang
menjuntai itu agar tak mengganggu tidurmu lagi. Dagumu yang panjang tak henti turut
menyimpan garis tawa. Ah...kau memang lelaki yang sangat manis, setidaknya
dalam pandanganku.
Lelaki
yang sudah tiga bulan ini menemani hari-hariku, lelaki yang kusadari tidak
semestinya digandrungi karena faktor ketampanan, selalu dipenuhi kuasa untuk membuatku
selalu menunggu jika tak bersama. Meski kini aku berada di dekatmu, meski aku
bisa menatap wajahmu sepuas hatiku namun aku masih tetap sangat merindukanmu, karenanya
ingin selalu kusimpan wajahmu dipelupuk mataku. Hingga tanpa sadar buliran
bening mengalir dari kedua ceruk mataku, ingin ku peluk tubuhmu yang terlihat
menyimpan letih.
Suamiku...baik-baikkah
dirimu?
#Ba’da
Isya...#
Seperti
biasanya, kau sempatkan waktu untuk menatap langit malam. Kau berdiri sembari
menyenderkan sisi kiri lenganmu di tiang teras rumah kita dengan posisi tangan
melipat di depan dada. Barangkali moment seperti ini yang memberi inspirasi
disetiap bait puisimu yang tak pernah membuatku bosan membacanya. Bahkan
beberapa sudah melekat diingatanku meski tak sengaja untuk ku hapalkan.
Pernah
sekali kau bercerita, betapa kau sangat menyukai langit meskipun malam,
meskipun tak ada bintang dan rembulan, meskipun hanya gelap dan hitam. Ketika
kutanya,
“mengapa
Abi begitu menyukai malam, bukankah jika
mendung
seperti ini hanya tampak suram?”
Kau
tampak tersenyum, matamu menyiratkan sebuah bayangan yang seolah-olah terhampar
memenuhi seluruh sudut pandangmu
“Bukankah
suram itu hanya ada dalam pikiran, semua akan indah jika kita memandangnya
dengan keindahan”
Meski
tak menjawab pertanyaanku, rasanya aku tak perlu banyak bertanya lagi.
Terkadang untuk menyukai sesuatu tidak memerlukan alasan, begitupula kau yang
menyukai malam barangkali tidak memerlukan alasan dan akupun tidak memerlukan
banyak alasan untuk menerima pinanganmu dulu. Aku hanya cukup mengenal agamamu
dan aku menyukaimu, itu saja. Ah...pikiranku yang sederhana.
“Bun...sekarang
sudah tanggal 13 ya?”
Kualihkan
pandanganku kewajahmu. Kau tetap menatap
rembulan merah nan anggun merajai langit malam ini. Suaramu begitu pelan, bahkan
seperti hendak tertelan lembutnya semilir malam dan hampir-hampir aku tak bisa mendengarnya. Sahut-sahutan
suara khas binatang kecil jangkrik tak mampu biaskan bahwa ada sesuatu yang kau
simpan.
Ku
raih jarimu, terasa dingin. Ku ajak dan ku bimbing duduk di kursi panjang yang
berada di teras rumah kami. Rumah yang sama sekali belum direnovasi sejak kami
tinggali setelah tiga hari pernikahan kami. Hanya warna catnya saja yang
awalnya putih kusam kami ubah menjadi krem lembut pilihan warna hasil mufakat
kita berdua. Di selatan pintu sengaja kita taruh kursi panjang ini dan sebuah
meja kecil disampingnya. Kursi dimana sering kita habiskan waktu berdua berbagi
cerita untuk menutup hari. Bercerita semua yang telah masing-masing kita
lakukan hari ini, bercerita mengenai apa yang kita lakukan untuk mengalihkan
rindu, dan berbagi harapan serta kepercayaan untuk membangun kehidupan
mendatang.
“Cepat
sekali...”
Tampak
senyum simpulmu mengulas. Namun ada yang berbeda, aku merasakan ada kesedihan.
Apakah kau menyimpan luka dibalik senyummu?
Seperti
biasa, kau kemudian rebahkan badanmu dengan kepala dipangkuanku.
“Bi
kamu sakit ya?”
Kupegang
keningmu, tak terasa panas. Tiba-tiba tangan kirimu meraih jemariku dan kau
dekapkan di dadamu.
“Biarkan
aku tidur, sebentar saja...”
Kau
pejamkan matamu, dan aku hanya diam melihat sikapmu yang semakin tidak biasa
saja. Aku tak tahu mengapa aku tidak bisa bertanya lebih banyak kepadamu
tentang apa yang terjadi. Mulut ini terasa terkunci. Sungguh aku sangat peduli
dan terlalu menjaga agar tidak memberatkanmu dan memaksa menceritakan semuanya.
Ah apakah ini bijaksana? Akupun masih meragukannya.
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar